MAKALAH
FILSAFAT PENDIDIKAN REALISME
Diajukan Untuk
Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan
Dosen : Drs. Iwan, MA
Disusun oleh :
Inayah
(1410120059)
TARBIYAH/PBA_B/IV
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI
CIREBON
2012
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji atas rahmat dan karunia-Nya,
sehingga penulis dapat merampungkan Tugas Terstruktur Mata Kuliah “Filsafat
Pendidikan”.
Solawat dan salam tetap tercurah limpahkan kepada
teladan kita, Nabi Muhammad SAW dan semoga kita menjadi pengikutnya yang setia
dan mengikuti sunahnya sampai ajal menjemput kita.
Penulis ucapkan terima kasih tak terhingga kepada
Bapak Drs. Iwan, MA
selaku dosen mata kuliah Filsafat Pendidikan yang
selama ini memberi kontribusi besar kepada kami, mahasiswa jurusan bahasa arab,
dalam memahami mata kuliah “Filsafat Pendidikan”.
Penulis sadari, masih banyak kekurangan dalam
penulisan makalah ini. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis
harapkan
Cirebon, 21 Juli 2012
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... 2
DAFTAR ISI................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang..................................................................................... 4
2.
Rumusan Masalah................................................................................. 5
3.
Tujuan Penulisan................................................................................... 5
BAB II FILSAFAT PENDIDIKAN REALISME......................................... 6
1.
Arti Realisme........................................................................................ 6
2.
Bentuk Realisme................................................................................... 7
3.
Realisme
Dalam Pendidikan.................................................................. 19
BAB IV KESIMPULAN................................................................................ 21
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 22
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Filsafat pendidikan adalah aplikasi dari filsafat
umum dalam pendidikan. Berbeda dengan Filsafat Umum yang objeknya adalah
kenyataan keseluruhan segala sesuatu. Filsafat Khusus /terapan mempunyai objek
kenyataan salah satu aspek kehidupan manusia yang dalam hal ini adalah
pendidikan. Filsafat pendidikan menyelidiki hakikat pelaksanaan pendidikan yang
bersangkut paut dengan tujuan, latar belakang cara dan hasilnya serta hakikat
ilmu pendidikan yang bersangkut paut terhadap struktur kegunaannya.
Seperti halnya filsafat yang lain, filsafat
pendidikan pun
bersifat spekulatif, preskriptif dan analitik. Spekulatif artinya filsafat
pendidikan membangun teori-teori tentang hakikat pendidikan manusia, hakikat
masyarakat dan hakikat dunia. Preskriptif artinya filsafat pendidikan
menentukan tujuan pendidikan yang harus diikuti dan dicapai. Analitik artinya
filsafat pendidikan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan yang spekulatif dan
perspektif.
Filsafat ilmu pendidikan dapat dibataskan sebagai
salah satu bentuk teori pendidikan yang dihasilkan melaui riset baik kualitatif
maupun kuantitatif. Filsafat pendidikan ini perlu dipedomani para perencana
pendidikan tentang tujuan, isi, kurikulum yang merumuskan tujuan-tujuan
pengubahan perilaku yang bersifat personal, sosial dan ekonomi.
Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari
filsafat umum maka filsafat pendidikan pun terdiri beberapa aliran seperti filsafat
pendidikan idealisme, realisme, esensialisme dan pragmatisme.
2.
Rumusan Masalah
Dalam Makalah ini memaparkan beberapa rumusan masalah
yang ada diantaranya :
a.
Apa arti Realisme Pendidikan ?
b.
Apa Bentuk dari Filsafat Pendidikan Realisme ?
c.
Bagaimana peran Filsafat Realisme dalam Pendidikan ?
3.
Tujuan Penulisan
Adapun Tujuan Penulisan Makalah ini adalah sebagai
berikut :
a.
Untuk mengetahui hakikat Pendidikan menurut Aliran
Filsafat Realisme.
b.
Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah “
Filsafat Pendidikan”.
BAB II
FILSAFAT PENDIDKAN REALISME
A.
Arti Realisme
Pada
dasarnya realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitas. Realisme berbeda
dengan materialisme dan idealisme yang bersifat monitis. Realisme berpendapat bahwa
hakikat realitas adalah terdiri atas dunia fisik dan dunia rohani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yang subjek yang
menyadari dan mengetahui disatu pihak dan dipihak lainnya adalah adanya realita
diluar manusia yang dapat dijadikan sebagai objek pengetahuan manusia. (Uyoh Sadulloh : 2007 : 103)
Gagasan filsafat realisme terlacak dimulai
sebelum periode abad masehi dimulai, yaitu dalam pemikiran murid Plato bernama
Aristoteles (384-322 SM). Sebagai murid Plato, sedikit banyak Aristoteles tentu
saja memiliki pemikiran yang sangat dipengaruhi Plato dalam berfilsafat. Dalam
keterpengaruhannya, Aristoteles memiliki sesuatu perbedaan pemikiran yang
membuatnya menjadi berbeda dengan Plato.
Ibarat Plato memulai filsafatnya dari
sebelah selatan, Aristoteles justru memulai dari sebelah utara. Filsafat
Aristoteles tampak seperti antitesis filsafat Plato yang justru memiliki corak
idealisme. Oleh karena itu, jika Plato meyakini bahwa apa yang sungguh-sungguh
ada adalah yang ada dalam alam idea, Aristoteles justru memandang bahwa apa yang di
luar alam ide, termasuk benda-benda yang terlihat indra bukanlah idea yang lahir dari replikasi yang ada dalam
pikiran atau mental.
Bagi Aristoteles, benda-benda itu sungguh
pun tidak ada yang memikirkannya ia tetaplah ada. Keberadaanya tersebut tidak
ditentukan oleh akal. Disini fokus perhatian Aristoteles terhadap kemungkinan
sampai pada konsepsi-konsepsi tentang bentuk universal melalui kajian-kajian
atas objek-objek material. Kelak, ini akan menjadi dasar-dasar pertama bagi
lahirnya fisika modern serta sains.
(Teguh Wangsa Gandhi : 2010 : 140)
B.
Bentuk Realisme
Realisme
merupakan aliran filsafat yang memiliki beraneka ragam bentuk. Kneller membagi
realisme menjadi dua bentuk, yaitu : 1) Realisme Rasional, 2) Realisme
Naturalis. (Uyoh Sadullah
: 2007 : 103)
1. Realisme
Rasional
Realisme rasional dapat didefinisikan
pada dua aliran, yaitu realisme klasik dan realisme religius. Bentuk utama dari
realisme religius ialah “Scholastisisme”. Realisme klasik ialah filsafat
Yunani yang pertama kali dikembangkan oleh Aristoteles, sedangkan realisme
religius, terutama Scholatisisme oleh Thomas Aquina, dengan menggunakan
filsafat Aristoteles dalam membahas teologi gereja. Thomas Aquina menciptakan
filsafat baru dalam agama kristen, yang disebut tomisme, pada saat filsafat
gereja dikuasai oleh neoplatonisme yang dipelopori oleh Plotinus.
Realisme klasik maupun realisme religius
menyetujui bahwa dunia materi adalah nyata, dan berada diluar fikiran (idea)
yang mengamatinya. Tetapi sebaliknya, tomisme berpandangan bahwa materi dan
jiwa diciptakan oleh Tuhan, dan jiwa lebih penting daripada materi karena Tuhan
adalah rohani yang sempurna. Tomisme juga mengungkapkan bahwa manusia merupakan
suatu perpaduan/kesatuan materi dan rohani dimana badan dan roh menjadi satu.
Manusia bebas dan bertanggung jawab untuk bertindak, namun manusia juga abadi
lahir ke dunia untuk mencintai dan mengasihi pencipta, karena itu manusia
mencari kebahagiaan abadi.
a. Realisme klasik
Realisme klasik oleh Brubacher (1950) disebut
humanisme rasional. Realisme klasik berpandangan bahwa manusia pada hakikatnya
memiliki ciri rasional. Dunia dikenal melalui akal, dimulai dengan prinsip
“self evident”, dimana manusia dapat menjangkau kebenaran umum. Self evident
merupakan hal yang penting dalam filsafat realisme karena evidensi merupakan
asas pembuktian tentang realitas dan pembenaran sekaligus. Self evident merupakan
suatu bukti yang ada pada diri (realitas, eksistensi) itu sendiri. Jadi, bukti
tersebut bukan pada materi atau pada realitas yang lain. Self evident merupakan
asas untuk mengerti kebenaran dan
sekaligus untuk membuktikan kebenaran. Self evident merupakan asas bagi
pengetahuan artinya pengetahuan yang benar buktinya ada didalam pengetahuan
atau kebenaran pengetahuan itu sendiri.
Pengetahuan tentang Tuhan, sifat-sifat Tuhan,
eksistensi Tuhan, adalah bersifat self evident. Artinya bahwa adanya Tuhan
tidak perlu dibuktikan dengan bukti-bukti lain sebab Tuhan itu self evident.
Sifat Tuhan itu Esa, artinya Esa hanya dimiliki Tuhan, tidak ada yang
menyamainya terhadap sifat Tuhan tersebut. Eksistensi Tuhan merupakan prima
kausa, penyebab pertama dan utama dari segala yang ada, yakni merupakan
penyebab dari realitas alam semesta. Sebab, dari semua kejadian yang terjadi
pada alam semesta. Tujuan pendidikan bersifat intelektual. Memperhatikan
intelektual adalah penting, bukan saja sebagai tujuan, melainkan dipergunakan
sebagai alat untuk memecahkan masalah.
Bahan pendidikan yang esensial bagi aliran ini,
yaitu pengalaman manusia. Yang esensial adalah apa yang merupakan penyatuan dan
pengulangan dari pengalaman manusia. Kneller (1971) mengemukakan bahwa
realisme klasik bertujuan agar anak menjadi manusia bijaksana, yaitu seorang
yang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan fisik dan sosial.
“For the classical realist the purpose of education is enable the pupil to
become an intellectually well-balanced person, as against
one who is symply well adjust to the physical and social amvironment”.
Menurut Aristoteles, terdapat aturan, terdapat aturan moral universal yang diperoleh dengan
akal dan mengikat manusia sebagai mahklul nasional. Di sekolah lebih menekankan
perhatiannya pada mata pelajaran (subject matter), namun, selain itu,
sekolah harus menghasilkan individu-individu yang sempurna. Menurut pandangan
Aristoteles,manusia sempurna adalah manusia moderat yang mengambil jalan
tengah. Pada anak harus diajarkan ukuran moral absolute dan universal, sebab
apa yang diklatakan baik atau benar adalah untuk keseluruhan umat manusia,
bukan hanya untuk suatu ras atau suatu kelompok masyarakat tertentu. Hal ini
penting bagi anak untuk mendapatkan kebiasaan baik. Kebaikan tidak datang
dengan sendirinya, melainkan harus dipelajari.
b.
Realisme religious
Realisme
religious dalam pandangannya tampak dualistis. Ia berpendapat bahwa terdapat
dua order yang terdiri atas “order natural” dan “order
supernatural”. Kedua order tersebut berpusat pada tuhan. Tuhan adalah
pencipta semesta alam dan abadi. Pendidikan merupakan suatu proses untuk
meningkatkan diri, guna mencapai yang abadi. Kemajuan diukur sesuai dengan yang
abadi tersebut yang mengambil tempat dalam alam. Hakikat kebenaran dan kebaikan
memiliki makna dalam pandangan filsafat ini. Kebenaran bukan dibuat, melainkan
sudah ditentukan, dimana belajar harus mencerminkan kebenaran tersebut.
Menurut
pandangan aliran ini, struktur social berakar pada aristokrasi dam demokrasi.
Letak aristokrasinya adalah pada cara meletakan kekuasaan pada yang lebih tahu
dalam kehidupan sehari-hari. Demokrasinya berarti bahwa setiap orang diberi
kesempatan yang luas untuk memegang setiap jabatan dalam struktur masyarakat.
Hubungan antara gereja dan Negara, adlah menjaga fundamental dasar dualism
antara order natural dan order supernatural. Minat Negara
terhadap pendidikan bersifat natural, karena Negara memiliki kedudukan lebih
rendah dibandingkan dengan gereja. Moral pendidikan berpusat pada ajaran agama.
Pendidikan agama sebagai pedoman bagi anak untuk mencapai Tuhan dan Akhirat.
Menurut
realisme religious, karena keteraturan dan keharmonisan alam semesta sebagai
ciptaan tuhan, maka manusia harus mempelajari alam sebagai ciptaan tuhan.
Tujuan utama pendidikan mempersiapkan individu untuk dunia dan akhirat. Tujuan
pendidikan adalah mendorong siswa memiliki keseimbangan intelektual yang baik,
bukan semata-mata penyesuaian terhadap lingkungan fisik dan social saja.
William Mc Gucken (Brubacher, 1950), seorang pengikut aristoteles dan Thomas
aquina yang berakar pada metafisika dan epistimologi, membicarakan pula natural
dan supernatural. Menurut Gucken, tanpa Tuhan tidak ada tujuan hidup,
dan pada akhirnya tidak ada tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan adalah
mempersiapkan manusia untuk hidup didunia sekarang dalam arti untuk mencapai
tujuan akhir yang abadi untuk hidup didunia sana.
Pandangannya
tentang moral, realism religious menyetujui bahwa kita dapat memahami banyak
hokum moral dengan mengunakan akal, namun secara tegas beranggapan bahwa hukum-hukum
moral tersebut diciptakan oleh Tuhan. Tuhan telah memberkahi manusia dengan
kemampuan rasional yang sangat tinggi untuk memahami hukum moral tersebut.
Tidak seperti halnya realisme natural yang hanya terbatas pada moral alamiah,
realisme religious beranggapan bahwa manusia diciptakan memiliki kemampuan
untuk melampaui alam natural, yang pada akhirnya dapat mencapai nilai supernatural.
Tujuan pendidikan adalah keselamatan atau kebahagiaan jasmani dan rohani
sekaligus. Anak yang lahir pada dasarnya rohaninya dalam keadaan baik, penuh
rahmat, diisi dengan nilai-nilai ketuhannan. Anak akan menerima kebaikan dan
menjauhi kejahatan bukan hanya karena perintah akal, melainkan juga karena
perintah Tuhan.
Johan Amos
Comenius merupakan pemikir pendidikan yang dapat digolongkan pada realisme
religious, mengemukakan bahwa semua manusia harus berusaha untuk mencapai dua
tujuan. Pertama, keselamatan dan kebahagiaan hidup yang abadi. Kedua, keadaan
dan kehidupan dunia yang sejahtera dan damai. Tujuan pertama merupakan tujuan
yang inheren dalam diri manusia, dimana tujuannya terletak diluar hidup
ini. Pada tujuan yang kedua, Comenius tampaknya memandang kebahagiaan dan
perdamaian dunia merupakan sebahagiaan dari kebahagiaan hidup yang abadi.
Berbicara tentang
pendidikan, Comenius (price, 1962) mengemukakan bahwa pendidikan harus
universal, seragam, dimulai sejak pendidikan yang paling rendah, dan merupakan
suatu kewajiban. Pada tingkat pendidikan yang paling rendah, dan merupakan
suatu kewajiban. Pada tingkat pendidikan yang paling rendah , anak akan
menerima jenis pendidikan yang sama. Pembvawaan dan sifat manusia sama pada
semua orang. Oleh karena itulah, metode, isi, dan proses pendidikan harus
seragam. Namun, manusia tetap berbeda dalam derajatnta, dimana ia dapat
mencapainya. Oleh karena itu, pada tingkatan pendidikan yang paling tinggi
tidak boleh hanya ada satu jenis pendidikan, melainkan harus beraneka ragam
jenis pendidikan. Anak yang cacat pancaindera, jasmani maupun mental, tidak
diperkenankan mengikuti pendidikan, dalam arti bersama-sama dengan anak normal.
Mereka harus mendapatkan pelayanan khusus.
Comenius dalam
bukunya “Didacita Magna” (Didaktik besar), dan “Orbis Sensualium
Pictus” (Dunia panca indera dengan gambar-gambar) merupakan peletak dasar
didaktik modern. Ia mengubah cara berfikir anak yan deduktif spekulatif dengan
cara berfikir induktif, yang merupakan metode berfikir ilmiah. Peragaan
merupakan suatu keharusan dalam proses belajar mengajar , sehingga ia dijuluki
sebagai bapak keperagaan dalam belajar mengajar. Beberapa prinsip mengajar yang
dikemukakan oleh Comenius adalah sebagai berikut :
a.
Pelajaran harus didasarkan pada minat siswa
keberhasilan dalam belajar tidak karena dipaksakan dari luar, melainkan
merupakan suatu hasil perkembangan dari dalam pribadinya.
b.
Pada waktu permulaan belajar, guru harus menyusun out
line secara garis besar dari setiap mata pelajaran.
c.
Guru harus menyiapkan dan menyampaikan informasi
tentang garis-garis besar pelajaran sebelum pelajaran dimulai, atau pada waktu
permulaan pelajaran.
d.
Kelas harus diisi dengan gambar-gambar, peta, motto,
dan sejenisnya yang berkaitan dengan rencana pelajaran yang akan diberikan.
e.
Guru menyampaiakan pelajaran sedemikian rupa, sehingga
pelajaran merupakan suatu kesatuan. Setiap pelajaran merupakan suatu
keseimbangan dari pelajaran sebelumnya, dan untuk perkembangan pengetahuan
secara terus-menerus.
f.
Apapun yang dilakukan guru, hendaknya membantu untuk
pengembangan hakikat manusia. Kepada siswa ditunjukan kepentingan yang praktis
dari setiap system nilai.
g.
Pelajaran dalam subjek yang sama diperuntukan bagi
semua anak.
2.
Realisme Natural Ilmiah
Realisme natural
ilmiah menyertai lahirnya sains eropa pada abad kelima belas dan keenam belas,
yang dipelopori oleh Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John
Stuart Mill, dan lain-lainnya. Pada abad kedua puluh tercatat
pemikiran-pemikiran seperti Ralph Borton Perry, Alferd Nortt Whitehead, dan
Betrand Russel.
Realism natural
ilmiah mengatakan bahwa manusia adalah organisme biologis dengan system syaraf
yang kompleks dan secara inheren berpembawaan social (social disposition).
Apa yang dinamakan berfikir merupakan fungsi yang sangat kompleks dari organism
yang berhubungan dengan lingkungannya. Kebanyakan penganut realism natural
menolak eksistensi kemauan keras (free will). Mereka bersilang pendapat
dalam hal bahwa individu ditentukan oleh akibat lingkungan fisik dan social
dalam struktur genetiknya. Apa yang tampaknya bebas memilih , kenyataannya
merupakan suatudeterminasi kausal (ketentuan sebab akibat).
Menurut realisme
natural ilmiah, filsafat mencoba meniru objektivitas sains. Karena dunia
sekitar manusia nyata, maka tugas sainslah untuk meneliti sifat-sifatnya. Tugas
filsafa mengkordinasikan konsep-konsep dan temuan-temuan sains yang berlainan
dn berbeda-beda. Perubahan merupakan realitas yang sesuai dengan hokum-hukum
alam yang permanen, yang menyebabkan akam semesta sebagai suatu struktur yang
berlangsung terus, karena dunia bebas dari manusia dan diatur oleh hukum alam,
dan manusia memiliki sedikit control, maka sekolah harus menyediakan subject
matter yang akan memperkenalkan anak dengan dunia sekelilingnya.
Pandangannya
tentang teori pengetahuan (epistemology), realisme natural ilmiah mengatakan
bahwa dunia yang kita amati bukan hasil kreasi akal atau jiwa (mind) manusia,
melainkan dunia sebagaimana adanya. Subtansialitas, sebab akibvat, dan
aturan-aturan alam bukan suatu proyeksi akal, atau jiwa manusia, melainkan
merupakan suatu penampilan atau penampakan dari dunia atau alam itu sendiri.
Teori kebenaran
yang dipergunakan oleh kaum realism natural ilmiah adalah teori “korespondensi”
tentang kebenaran, yang menyatakan bahwa kebenaran itu adalah persesuaian
terhadap fakta dengan situasi yang nyata, kebenaran merupakan persesuaian
antara pernyataan mengenai fakta dengan faktanya sendiri, atau antara fikiran
dengan realitas situasi lingkungannya. Teori ini sebagai suatu penolakan
terhadap teori koherensi, yang pada umumnya dipergunakan oleh kaum idealis,
yang mengemukakan bahwa pengetahuan itu benar karena selaas atau bertalian
dengan pengetahuannya yang telah ada. Menurut teori korespondensi, pengetahuan
baru itu dikatakan benar apabila sesuai dengan teori atau pengetahuan terdahulu
yang telah ada, karena teori yang telah ada tersebut adalah benar, sesuai
dengan fakta, sesuai dengan situasi nyata.
Jadi, menurut
realisme ilmiah, pengetahuan yang shahih adalah pengetahuan yang diperolah
melalui pengalaman empiris, dengan jalan observasi, atau penginderaan. Teori
pengetahuan yang mereka ikuti adalah teori pengetahuan “empirisme”, seperti
yang diuraikan terdahulu. Menurut empirisme, pengalaman merupakan factor
fundamental dalam pengetahuan, sehingga merupakan sumber dari pengetahuan
manusia.
Pandangannya
tentang nilai, mereka menolak pendapat bahwa nilai memiliki sanksi supernatural,
kebaikan adalah yang menghubungkan manusia dengan lingkungannya. Sebaliknya,
kejahatan adalah yang menjauhkan manusia dari lingkungannya. Esensi manusia dan
esensi alam adalah tetap, maka nilai yang menghubungkan antara yang satu dengan
yang lainnya adalah tetap. Lembaga-lembaga dan praktik social diseluruh dunia
sangat berlainan dan berbeda-beda, namun memiliki landasan nilai yang sama.
Kaum idealism menganggap bahwa kaum manusia pada dasarnya sempurna, sedangkan
kaum realism natural menerima sebagaimana adanya, tidak sempurna.
Realisme natural
mengajarkan bahwa baik dan salah adalah hasil tentang pengalaman kita tentang
alam, bukan dari prinsip-prinsip nilai agama atau dari luar ala mini. Moralitas
dilandasi oleh hasil penelitian ilmiah yang menunjukan kemanfaatannya pada
manusia sebagai spesies tertinggi dari hewan. Sakit adalah jahat, dan sehat
adalah baik. Manusia harus meningkatkan kebaikan-kebaikan dengan menggunakan
ukuran-ukuran untuk memperbaiki konstitusi genetic, mengatasi kesejahteraan
dengan perbaikan lingkungan dimana manusia hidup.
Mengenai konsep
pendidikan realism natural, Brucher (1950) mengemukakan bahwa pendidikan
berkaitan dengan dunia disini dan sekarang. Dunia bukan sesuatu yang eksternal,
tidak abadi, melainkan diatur oleh hukum alam. Jiwa (mind) merupakan
produk alam dan bersifat biologis, berkembang dengan cara menyesuaikan diri
dengan alam. Pendidikan menurut realism natural haruslah ilmiah dan yang
menjadi objek penelitiannya adalah kenyataan dalam alam.
Seorang ahli sains
dapat mencatat dengan tepat apa yang dipelajarinya, termasuk dalam mempelajari
kenyataan-kenyataan social. Bagi mereka tidak ada kesangsian terhadap apa yang
dipelajari berdasarkan kenyataan, karena kebeneran diperolehnya dari kenyataan. Oleh karena itu, kurikulum
yang baik adalah yang berdasarkan data dan realitas. Mereka mendasarkan
penelitian ilmiah melalui psikologi pendidikan dan sosiologi pendidikan dalam
menentukan kurikulumnya. Psikologi mereka adalah behavioristik. Ide atau jiwa
anak yang bersifat supernatural tidak memperoleh tempat dalam pandangan mereka.
Pendidikan cenderung pada naturalism, materialism, dan makenistik.
Terdapat
persamaan wawasan tentang proses pendidikan diantara berbagai aliran realism.
Hal tersebut dikemukakan kneller (1971 : 24 ) sebagai berikut :
“ To impart a selection of this knowledge to the
growing person in the school’s most important task. The initiative in
education, therefore, lies with the teacher as transmitter of the cultural
heritage. It is the teacher, not the student, who must decide what subject
matter should be studied in class. If this subject matter can be made to
satisfy the student personal needs and interest, so much the better. But
satisfying the student personally is far less important than imparting the
right subject matter”.
Baik realisme rasional maupun realisme natural ilmiah
sependapat bahwa menanamkan dan pemilihan pengetahuan yang akan diberikan
disekolah adalah penting. Inisiatif dalam pendidikan adalah terletak pada uru,
yang menentukan bahan pelajaran yang akan dibahas dalam kelas adalah guru,
bukan siswa. Materi atau bahan pelajaran yang baik adalah bahan pelajaran yang
memberikan kepuasan pada minat dan kebutuhan siswa. Namun, yang paling penting
bagi guru adalah bagaimana memilih bahan pelajaran yang benar, bukan memberikan
kepuasan terhadap minat dan kebutuhan siswa hanyalah merupakan alat untuk
mencapai tujuan pendidikan, merupakan suatu strategi mengajar yang bermanfaat.
3.
Neo-Realisme dan Realisme Kritis (Uyoh Sadulloh : 2007
: 110)
Selain
aliran-aliran realism diatas, masih ada lagi pandangan-pandangan lain, yang
termasuk realism. Aliran tersebut disebut “Neo-Realisme” dari Frederick Breed,
dan “Realisme Kritis” dari Immanuel Kant. Menurut pandangan Breed, filsafat
pendidikan hendaknya harmoni dengan prinsip-prinsip demokrasi. Prinsip
demokrasi adalah hormat dan menghormati atas hak-hak individu. Pendidikan
sebagai pertumbuhan harus diartikan sebagai menerima arah tuntunan social dan
individual. Istilah demokrasi harus didefinisikan kembali sebagai pengawasan
dan kesejahteraan social.
Selanjutnya
Breed mengatakan bahwa, sekolah harus menghantarkan pewarisan social sedemikian
rupa untuk menanamkan kepada generasi muda dengan kenyataan bahwa kebenaran
merupakan unsure penting dari tradisi masyarakat. Berkali-kali dia menekankan
keharusan menolong pemuda untuk menyesuaikan diri pada fakta yang sebenarnya,
pada alam realitas yang bebas, yang menjadi unsure utama atau yang menjadi
tulang punggung pengalaman manusia.
Realisme kritis
didasarkan atas pemikiran Immanuel Kant, seorang pesintesis yan besar. Ia
mensitesiskan pandangan-pandangan yan berbeda, antara empirisme dan
rasionalisme, antara skepitisme dan paham kepastian, antara eudaeomanisme
dengan puritanisme. Ia bukan melakukan eklektisisme yang dangkal. Melainkan,
suatu sintesis asli yang menolak kekurangan-kekurangan dari kedua belah pihak
yang disintesiskannya. Dan ia membangun filsafat yang kuat.
Hasil pemikiran
Kant merupakan titik temu antara
idealism dan realism, antara empirisme yang dikembangkan Locke, yang bermuara
pada empirisme David Hume, dengan rasionalisme dari Descartes. Dilihat dari
idealism, ia seorang realism kritis. Oleh karena itu, banyak orang yang
mempelajari filsafat dan sejarah filsafat, menanamkan ia sebagai krisisme. Kritisme
Kant dimulai dengan penyelidikan kemampuan dan batas-batas rasio, berbeda
dengan filosof-filosof sebelumnya yang secara dogmatis apriori
mempercayai kemmpuan rasio secara bulat.
Menurut Kant,
semua pengetahuan mulai dari pengalaman, namun tidak berarti semuanya dari
pengalaman. Objek luar dikenal melalui indera, namun pikiran atau rasio, atau
pengertian, mengorganisasikan bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman
tersebut. Pikiran tanpa isi adalah kosong, dan tanggapan tanpa konsepsi
adalah buta. Demikian kata Kant. :Thoughts without content are empty,
percepts without concepts are blind” (Henderson, 1959 : 218).
Selanjutnya,
menurut Kant, pengalaman tidak hanya sekedar warna, suara, bau yang diterima
alat indera, melainkan hal-hal tersebutdiatur dan disusun menjadi suatu bentuk
yang terorganisasi oleh pikiran kita. Pengalaman merupakan suatu interpretasi
tentang benda-benda yang kita terima melalui alat indera kita. Dan di dalam
interpretasi tersebut kita mempergunakan suatu struktur untuk mengorganisasi
benda-benda.
Lebih lanjut
Kant mengemukakan, bahwa manusia telah dilengkapi dengan seperangkat kemauan,
sehingga kita dapat member betuk terhadap data mentah yang kita amati. Dengan
demikian, kita mungkin memiliki pengetahuan apriori, yang tidak perlu untuk
mengalami sendiri untuk mendapatkan pengetahuan yang fundamental, dan
pengetahuan yang aposteriori, pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman.
Manusia tidak bisa mengetahui realitas yang sebenarnya, melainkan suatu
realitas di luar pengalaman, dan merupakan objek pengetahuan. Kant mengaui,
bahwa manusia tidak hanya memiliki kemampuan alamiah, melainkan juga memiliki
kemampuan agama dan moral.
Henderson merupakan
salah seorang filosof yang dapat digolongkan pada aliran ini. Ia berpendapat
bahwa semua aliran filsafat pendidikan memiliki beberapa persamaan, yaitu :
“All this educational philosophies agree that the educative process
centers in the task of developing superior manhood and womanhood ; that our
task in this world to promote justice and the common welfare, and that we
should look to the ultimate purpose of education for direction in solving
educational problems”.
Semua aliran filsafat pendidikan menyetjui bahwa :
a.
Proses pendidikan berpusat pada tugas mengembangkan
laki-laki dan wanita yang hebat dan kuat.
b.
Tugas manusia di dunia adalah memajukan keadilan dan
kesejahteraaan umum
c.
Kita seharusnya memandang bahwa tujuan akhir
pendidikan adalah memecahkan masalah-masalah pendidikan.
Power (1982)
mengemukakan implikasi pendidikan realisme sebagai berikut :
1) Tujuan Pendidikan
Penyesuaian hidup dan tanggung jawab social.
2) Kedudukan siswa
Dalam hal pelajaran, menguasai pengetahuan yang handal, dapat dipercaya.
Dalam hal disiplin, peraturan yang baik adalah esensial untuk belajar. Disiplin
mental dan moral dibutuhkan untuk memperoleh hasil yang baik.
3) Peranan Guru
Menguasai pengetahuan, terampil dalam teknik mengajar dan dengan keras
menuntut prestasi dari siswa.
4) Kurikulum
Kurikulum komprehensif mencakup semua pengetahuan yang berguna.
Berisikan pengetahuan liberal dan pengetahuan praktis.
5) Metode
Belajar tergantung pada pengalaman, baik langsung atau tidak langsung.
Metode penyampaian harus logis dan psikologis. Metode Conditioning (SR) merupakan
metode utama bagi realisme sebagai pengikut behaviorisme.
C.
Realisme
Dalam Pendidikan ( Purnawan : 2009 : 24)
a) Pendidikan Sebagai Institusi Sosial
John Amos Comenius
di dalam bukunya Great Didactic, mengatakan bahwa manusia tidak
diciptakan hanya kelahiran biologinya saja. Jika ia menjadi seorang manusia,
budaya manusia harus memberi arah dan wujud kepada kemampuan dasarnya.
Dalam bukunya Membangun
Filsafat Pendidikan, Harry Broudy secara eksplisit ia menekankan bahwa
masyarakat mempunyai hak dengan mengabaikan keterlibatan pemerintah, yang akan
membawa pendidikan formal di bawah wilayah hukumnya karena ini merupakan suatu
lembaga atau institusi sosial.
Implikasinya :
pendidikan adalah kebutuhan dasar dan hak yang mendasar bagi manusia dan
kewajiban penting bagi semua masyarakat untuk memastikan bahwa semua anak-anak
dilahirkan dengan pendidikan yang baik.
b)
Siswa
Guru adalah pengelola KBM di dalam
kelas (classroom is teacher-centered), guru penentu materi pelajaran, guru
harus menggunakan minat siswa yang berhubungan dengan mata pelajaran, dan
membuat mata pelajaran sebagai sesuatu yang kongkret untuk dialami siswa. Siswa
berperan untuk menguasai pengetahuan yang diandalkan, siswa harus taat pada
aturan dan disiplin, sebab aturan yang baik sangat diperlukan untuk belajar.
Siswa memperoleh disiplin melalui ganjaran dan prestasi.
c)
Tujuan
Pendidikan
Tujuan pendidikan realisme adalah
untuk “ penyesuaian diri dalam hidup dan mampu melaksanakan tanggung jawab sosial.
Pendidikan bertujuan
agar siswa dapat bertahan hidup di dunia yang bersifat alamiah, memperoleh
keamanan dan hidup bahagia, dengan jalan memberikan pengetahuan esensial kepada
siswa. Pengetahuan tersebut akan memberikan keterampilan-keterampilan yang
penting untuk memperoleh keamanan dan hidup bahagia.
d)
Proses Pendidikan
1)
Kurikulum
Kurikulum pendidikan
sebaiknya meliputi :
(1) Sains dan
Matematika,
(2) Ilmu-ilmu
kemanusiaan dan sosial,
(3) Nilai-nilai.
Kurikulum yang baik
diorganisasi menurut mata pelajaran dan berpusat pada materi pelajaran (subject
matter centered) yang diorganisasi menurut prinsip-prinsip psikologi
belajar. Kurikulum direncanakan dan diorganisasi oleh guru/orang dewasa (society
centered)
Isi kurikulum harus
berisi pengetahuan dan nilai-nilai esensial agar siswa dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan alam, masyarakat, dan
kebudayaannya.
2)
Metode
Pendidikan
Pembiasaan merupakan
metode utama bagi filsuf penganut behaviorisme Metode mengajar yang disarankan
bersifat otoriter. Guru mewajibkan siswa untuk dapat menghafal, menjelaskan, dan
membandingkan fakta-fakta, menginterprestasi hubungan-hubungan, dan mengambil
kesimpulan makna-makna baru.
3) Evaluasi
Guru harus menggunakan
metode-metode objektif dengan mengevaluasi dan memberikan jenis
tes yang memungkinkan untuk dpt mengukur secara tepat pemahaman siswa tentang
materi-materi esensial.
Untuk tujuan motivasi guru memberikan ganjaran terhadap siswa yang mencapai
sukses.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa Realisme
berpendapat bahwa hakikat realitas adalah terdiri atas dunia fisik dan dunia
rohani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yang subjek yang
menyadari dan mengetahui disatu pihak dan dipihak lainnya adalah adanya realita
diluar manusia yang dapat dijadikan sebagai objek pengetahuan manusia. Bahan pendidikan yang esensial bagi
aliran realism klasik
adalah pengalaman manusia. Yang esensial adalah apa
yang merupakan penyatuan dan pengulangan dari pengalaman manusia. Sedangkan Menurut realisme ilmiah,
pengetahuan yang shahih adalah pengetahuan yang diperolah melalui pengalaman
empiris, dengan jalan observasi, atau penginderaan.
Kneller
membagi realisme menjadi dua bentuk, yaitu : 1) Realisme Rasional, 2) Realisme
Naturalis. Namun, masih
ada lagi pandangan-pandangan lain, yang termasuk realisme. Aliran tersebut
disebut “Neo-Realisme” dari Frederick Breed, dan “Realisme Kritis” dari
Immanuel Kant.
Implikasinya
Realisme dalam
pendidikan adalah kebutuhan dasar dan hak yang mendasar bagi manusia dan
kewajiban penting bagi semua masyarakat untuk memastikan bahwa semua anak-anak
dilahirkan dengan pendidikan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Gandhi, Teguh Wangsa. 2010. Filsafat Pendidikan
: Madzhab-madzhab Filsafat Pendidikan. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media.
Sadullah, Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan.
Bandung : Alfabeta.
Purnawan. 2009. Filsafat Realisme. Bandung : Universitas
Pendidikan Bandung
Kneller, George F. 1971. Introduction to The
Philosophy of Education. New York : John Willey Son Inc.
Power, Edward J. 1982. Philosophy of Education.
New Jersey : Printice-Hall Inc. Englewood Cliffs.
Henderson, Stella van Pettern. 1959. Introduction
to The Philosophy of Education. Chicago : The University of Chicago
mantap sekali, saya minta ijin meminta dan meresum materi ini ya mbak
BalasHapus