Pengikut

Minggu, 22 Juli 2012

Hadist dan Strukturnya


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadist merupakan sumber ajaran islam kedua setelah Alqur’an. Kedudukan Hadist sangat urgen bagi sarana informasi mengenai syariat yang diajarkan nabi kepada umatnya. Masyarakat islam mutlak mengetahui dan memahami sumber ajarannya, yakni Al-Qur’an dan Hadist. Tetapi faktanya banyak muslim yang tidak  memahami tentang Hadist. Sebagian dari mereka pun mengenal dan memahami hadist tetapi seringkali implikasi dikehidupan sehari-harinya mereka abaikan. Untuk memahami sumber ajaran islam tidak hanya proses inqury terhadap hal yang berhubungan dengan sumber ajaran islam saja, hadist misalnya. Tetapi juga diperlukan pemikiran yang kritis untuk memahaminya. Sehingga dapat menteladani seluruh aspek kehidupan Rasulallah.
Oleh karena itu, Tuntutan penyusunan makalah terkait “Pengertian dan Struktur Hadist” ini diharapkan sedikit bisa memberi pengetahuan seputar Hadist.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian hadist secara etimologi dan terminologi?
2.      Apa pengertian Sunnah, khabar, dan atsar ?
3.      Apa bentuk-bentuk hadist ?
4.      Apa saja struktur hadist?

C.     Tujuan Pembuatan Makalah
Adapun makalah ini dibuat untuk :
1.      Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah “Ulumul Hadist”.
2.      Menambah Pembendaharaan informasi mengenai pengertian dan struktur hadist.
3.      Untuk Mengetahui definisi hadist dan struktur hadist secara kontemporer.




BAB II
PENGERTIAN DAN STRUKTUR HADIST
A.      Pengertian Hadist
1.      Pengertian Hadist menurut Bahasa (Etimologi)
Menurut Ibn Manzhur, Hadits berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata al-Hadits, jamaknya : al-ahadits al-haditsan dan al-hudtsan[1]. Secara etimologis kata ini memiliki banyak arti, di antaranya : al-jadid (yang baru) lawan dari al-qadim (yang lama), dan al-khabar, yang berarti kabar atau berita. (Solahudin & Suyadi,2009:14)
Maksud dari kalimat al-jadid (yang baru) lawan dari al-qadim (yang lama),” adalah bahwa semua sabda Rasulullah Saw, dianggap sebagai sesuatu yang baru, sedangkan yang qadim adalah al-qur’an.  Ketiga jamak (al-ahadits al-haditsan, al-hudtsan) berarti baru ini, dapat pula sebagai jamak dari pada hadits yang berarti qarib (dekat).
Abul Baqa dalam penelitiannya mengatakan, kata Hadits senada dengan kata tahdits, yang berarti ikhbar atau memberi tahu. Kemudian pengertian ini berkembang mencakup segala pekerjaan, ucapan, dan pengakuan Nabi Saw saja. Perkataan ikhbar sebenarnya sudah digunakan sejak zaman pra-Islam yang artinya sama dengan hadits. (Abdurrahman & Sumarna, 2011:192)
Sementara itu Syaikh Nuruddin ‘Itr menyebut, Hadits adalah kebalikan dari qadim (sesuatu yang terdahulu atau lama) dan dipakai juga dengan makna khabar. Di nyatakan dan al-Qamus, “ al-Hadits huwa al jadiid wa al-khabar” (hadits artinya sesuatu yang baru atau berita). Khabar menurut pakar hadits adalah sinonim kata Hadits.” Dengan demikian, menurut jumhur ulama tidak ada perbedaan antara hadits dan khabar. (Nuruddin,2012:14)
Di samping pengertian tersebut, M.M. Azami, mendefiniskan kata ‘Hadits’ (al-Hadits), secara lughawiyah (etimologi) berarti ‘komunikasi’, ‘kisah’, ‘percakapan’; religius, historis, atau kontemporer.
Dari beberapa pendapat diatas, disimpulkan bahwa secara etimologi pengertian hadist itu adalah al’jadid (yang baru). Artinya bahwa semua sabda nabi itu dianggap baru. Sedangkan yang Qodim adalah Al-Qur’an. Hadist juga merupakan khabar, berita, dan history yang memberi tahu tentang cara Rasulallah menjalankan syariat Islam.
Dalam al-qur’an, kata hadits ini digunakan sebanyak 23 kali. Sebagai contoh :
a.       Komunikasi religious : risalah atau Al-Qur’an.
Allah SWT berfirman,
ª!$# tA¨tR z`|¡ômr& Ï]ƒÏptø:$# $Y6»tGÏ. ….
Allah Ta’ala menurunkan secara bertahap hadist (risalah) yang paling baik dalam bentuk kitab. ( Q.S Az-Zumar : 23 )
Firman-Nya lagi,
ÎTöxsù `tBur Ü>Éjs3ム#x»pkÍ5 Ï]ƒÏptø:$# ( Oßgã_ÍôtGó¡t^y ô`ÏiB ß]øym Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÍÍÈ  
Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan Perkataan ini (Al Quran). nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui. (Q.S. Al-Qalam : 44 ).
b.      Kisah tentang suatu watak sekuler atau umum.
Allah SWT. Berfirman,
(#qä9$s%ur Iwöqs9 tAÌRé& Ïmøn=tã Ô7n=tB ( öqs9ur $uZø9tRr& %Z3n=tB zÓÅÓà)©9 âöDF{$# ¢OèO Ÿw tbrãsàZムÇÑÈ    
dan mereka berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) malaikat[459]?" dan kalau Kami turunkan (kepadanya) malaikat, tentulah selesai urusan itu[460], kemudian mereka tidak diberi tangguh (sedikitpun). (Q.S AL-An’Am : 6 ).

[459] Maksudnya: untuk menerangkan bahwa Muhammad s.a.w. itu seorang Nabi.
[460] Maksudnya: kalau diturunkan kepada mereka malaikat, sedang mereka tidak juga beriman, tentulah mereka akan diazab Allah seketika, sehingga mereka binasa semuanya.
c.       Kisah Historis
Allah SWT berfirman,
ö@ydur y79s?r& ß]ƒÏym #ÓyqãB ÇÒÈ                                                  
Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? (Q.S Thaha : 9 )
d.      Kisah Kontemporer
Allah SWT berfirman,
øŒÎ)ur §Ž| r& ÓÉ<¨Z9$# 4n<Î) ÇÙ÷èt/ ¾ÏmÅ_ºurør& $ZVƒÏtn $£Jn=sù ôNr'¬7tR ¾ÏmÎ/ çntygøßr&ur ª!$# Ïmøn=tã t$¡tã ¼çmŸÒ÷èt/ uÚ{ôãr&ur .`tã <Ù÷èt/ ( $£Jn=sù $ydr'¬6tR ¾ÏmÎ/ ôMs9$s% ô`tB x8r't7/Rr& #x»yd ( tA$s% uÎTr'¬7tR ÞOŠÎ=yèø9$# 玍Î6yø9$# ÇÌÈ  
dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan Peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan Menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (Q.S At-Tahrim : 3 ).

Dari ayat ayat tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa kata hadist telah digunakan dalam Al-Qur’an dalam arti “Kisah”, “komunikasi”, atau “risalah”, religious maupun secular, dari suatu masa lampau ataupun masa kini.[2]

2.      Pengertian Hadist Secara Istilah (Terminologi)
Secara terminologis, para ulama, baik muhadistin, fuqoha, ataupun ulama ushul, merumuskan pengertian hadist secara berbeda-beda. Perbedaan pandangan tersebut lebih disebabkan oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminya. [3]
Ulama hadist mendefiniskan hadist sebagai berikut,
كل ما اثر عن النبي صلى الله عليه وسلم من قول او فعل او تقرير او صفة او خلقية او خلقية
Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi. [4]
Menurut istilah ahli ushul fiqh, pengertian hadist adalah,
كل ما صدر عن النبي صلى الله عليه وسلم غير القران الكريم من قول او فعل او تقرير مما يصلح ان يكون دليلا لحكم شرعي

Hadist adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, selain AL-Qur’anulkarim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut-paut dengan hokum Syara.[5]
Adapun menurut istilah para Fuqoha, hadist adalah,
كل ما ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم ولم يكن من باب الفرض ولاالواجب.
Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW. Yang tidak bersangkut pat dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.[6]
Perbedaan pandangan tersebut kemudian melahirkan dua macam pengertian hadist, yakni pengertian secara terbatas dan pengertian secara luas.[7] Pengertian hadist secara terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh jumhur Al-Muhadistin, adalah :
ما اضيف الى النبي صلى الله عليه وسلم قولا او فعلا او تقريرا او نحوها.
Segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya.[8]
Dengan demikian, menurut ulama hadist, esensi hadist adalah segala berita yang berkenaan dengan sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ikhwal Nabi Muhammad SAW. Yang dimaksud ihwal adalah segala sifat dan keadaan pribadi Nabi SAW.
Adapun pengertian hadist secara luas, sebagaimana dikatakan Muhammad Mahfudz At-Tirmidzi, adalah,
ان الحديث لا يختص بالمرفوع اليه صلى الله علي وسلم بل جاء بإطلاقه ايضا للموقوف (وهو ما اضيف الى الصحابي من قول او نحوه) والمقطوع ( وهو ما اضيف لتابعى كذالك).
Sesungguhnya hadist bukan hanya yang dimarfu’kan kepada Nabi Muhammad SAW, melainkan dapat pula disebutkan pada yang mauquf ( dinisbatkan pada perkataan dan sebagainya dari sahabat) dan maqthu’ (dinisbatkan pada perkataan dan sebagainya dari tabi’in).[9]
Hal ini jelas bahwa para ulama beragam dalam mendefinisikan hadist karena berbada dalam meninjau objek hadist itu sendiri.

B.       PENGERTIAN SUNNAH, KHABAR, DAN ATSAR
Dalam khazanah ilmu hadist, istilah hadist sering disebut juga dengan istilah sunnah, khabar, dan atsar.
1.      Pengertian Sunnah
Secara bahasa sunnah diartikan sebagai :
الطريقة محمودة كانت او مذ مومة
Jalan yang dilalui, baik terpuji ataupun tercela[10]

Seperti sabda Nabi Muhammad SAW.,
من سن في الاسلام سنة حسنة فله اجرها واجر من عمل بها بعده من غير ان ينقص من اجورهم شيء. ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزرمن عمل بها من بعده من غير ان ينقص من اوزارهم شيئ (رواه مسلم)


Barang siapa merintis dalam islam suatu jalan yang baik, ia memperoleh pahala jalan baik itu dan pahala orang yang melakukannya sesudah dirinya, tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam islam suatu jalan yang buruk, ia akan menerima dosa jalan buruk itu dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dirinya, tanpa mengurangi sedikit pun dosa mereka. (H.R. Muslim)

Juga sabda Nabi Muhammad SAW.,
لتتبعن سنن من قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو سلكوا جحر ضب لسلكتموه ( رواه البخارى ومسلم)


Sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah (perjalanan-perjalanan) orang yang sebelummu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka memasuki sarang dhab (serupa biawak) sungguh kamu memasuki juga. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dari kedua hadist tersebut, kita bisa mengetahui bahwa kata “Sunnah” sebagaimana juga menurut ahli bahasa berarti jalan.
Adapun pengertian Sunnah menurut istilah, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Ajaj Al-Khathib,
ما اثر عن النبي صلى الله عليه وسلم من قول او فعل او تقرير او صفة خلفية او سيرة سواء كان قبل البعثة او بعدها

Segala sesuatu yang dunukilkan dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup, baik sebelum Nabi diangkat jadi rasul atau sesudahnya.
           Dari sudut pandang terminologi , para ahli tidak membedakan antara hadist dan sunnah. Menurut mereka, hadist atau sunnah adalah hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan maupun sifat beliau, dan sifat ini baik berupa sifat-sifat fisik, moral maupun perilaku, sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya.
Sunnah pada dasarnya sama dengan hadist, namun dapat dibedakan dalam pemaknaannya, seperti yang diungkapkan oleh M.M Azami bahwa sunnah berarti model kehidupan Nabi SAW, sedangkan hadist adalah periwayatan dari model kehidupan Nabi SAW. Tersebut.[11]
2.      Pengertian Khabar
Secara bahasa, khabar artinya warta atau berita[12] yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain. Khabar menurut istilah ahli hadist adalah.,
 ما اضيف الى النبي صلى الله عليه وسلم او غيره
Segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi SAW

Maksudnya bahwa khabar itu cakupannya lebih luas disbanding dengan hadist. Khabar mencakup segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW dan selain Nabi, seperti perkataan sahabat dan tabi’in, sedangkan hadist hanya segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., baik perkataan, perbuatan, maupun taqrir (ketetapan) beliau.
3.      Pengertian Atsar
Dari segi bahasa, atsar berarti bekas sesuatu atau sisa sesuatu. Menurut kebanyakan ulama, atsar mempunyai pengertian yang sama dengan khabar dan hadist, namun menurut sebagian ulama lainnya atsar cakupannya lebih umum disbanding khabar.
Para fuqoha memakai istilah atsar untuk perkataan-perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in, dan lain-lain.
Dari pengertian tentang hadist, sunnah, khabar, dan atsar, sebagaimana diuraikan diatas, menurut jumhur ulama ahli hadist, dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa hadist disebut juga dengan sunnah, khabar, atau atsar. Begitu pula, sunnah dapat disebut dengan hadist, khabar, dan atsra. Oleh karena itu, hadist mutawatir dapat juga disebut dengan sunnah mutawatir atau khabar mutawatir. Begitu juga, hadist shahih juga dapat disebut dengan sunnah shahih, khabar shahih, dan atsar shahih.

C.            BENTUK-BENTUK HADIST
Berdasarkan pengertian hadist diatas, bentuk-bentuk hadist terbagi pada qauli (perkataan), fi’li (perbuatan), taqrir (ketetapan), hammi (keinginan), ahwali (hal ihwal), dan lainnya.
1.      Hadist Qauli
Hadist Qauli adalah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dengan kata lain, hadist qauli adalah hadist berupa perkataan Nabi SAW yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk syara’, peristiwa, dan kisah, baik yang berkaitan dengan aspek akidah, syariat, maupun akhlak.
Diantara contoh hadist qauli adalah hadist tentang kecaman Rasul kepada orang-orang yang mencoba memalsukan hadist-hadist yang berasal dari Rasulullah SAW,

عن ابي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairoh r.a Rasulullah bersabda : “barang siapa sengaja berdusta atas diriku, hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat tinggalnya dineraka”. (H.R Muslim).
2.      Hadist Fi’li
Hadist fi’li adalah segala sesuatu perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dalam hadist tersebut terdapat berita tentang perbuatan Nabi SAW yang menjadi anutan perilaku para sahabat pada saat itu, dan menjadi keharusan bagi semua umat islam untuk mengikutinya.
Hadist yang termasuk kategori ini diantaranya adalah hadist-hadist yang didalamnya terdapat kana-kata kanalyakunu ra’aitul ai’na.[13] contohnya hadist berikut ini :
عن عائشة ان النبي صلى الله عليه وسلم كان يقسم بين نسائه فيعدل ويقول : اللهم هذه قسمتي فيما أملك فلا تلمني فيما تملك ولا املك (رواه ابو داود والترمذي و النسائ وابن ماجه)
Dari ‘Aisyah, Rasul SAW membagi (nafkah dan gilirannya) antar istri-istrinya dengan adil. Beliau bersabda, “Ya Allah ! Inilah pembagianku pada apa yang aku miliki. Janganlah Engkau mencelaku dalam hal yang tidak aku miliki”. (H.R. Abu dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah).
3.      Hadist Taqriri
Hadist Taqriri adalah hadist berupa ketetapan Nabi SAW terhadap apa yang datang atau dilakukan oleh para sahabatnya. Nabi SAW membiarkan atau ,endiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau membenarkan atau mempermasalahkannya. Sikap Nabi yang demikian itu dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalil taqriri, yang dapat dijadikan hujjah atau mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan suatu kepastian Syara’.[14]
Di antara contoh hadist taqriri adalah sikap Rosul SAW yang membiarkan para sahabat dalam menafsirkan sabdanya tentang shalat pada suatu peperangan, yaitu,
لايصلين احد العصر الا في بني قريضة (رواه البخاري)
Janganlah seorang pun shalat Ashar, kecuali nanti di Bani Quraidhah. (H.R Al Bukhori).
Sebagian sahabat memahami larangan itu berdasarkan pada hakikat perintah tersebut sehingga mereka terlambat dalam melaksanakan shalat Ashar. Segolongan sahabat lainnya memahami perintah tersebut untuk segera menuju Bani Quraidhah dan serius dalam peperangan dan perjalanannya sehingga dapat shalat tepat pada waktunya. Sikap para sahabat ini dibiarkan oleh Nabi SAW tanpa ada yang disalahkan atau diingkarinya.[15]
4.      Hadist Hammi
Hadist Hammi adalah hadist yang berupa keinginan atau hasrat Nabi SAW yang belum terealisasikan, seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 Asyu’ara. Sebagai contoh adalah hadist dari Ibn Abbas, sebagai berikut,

عن عبدالله بن عباس يقول حين صام النبي صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وامرنا بصيامه قالو : انه يوم تعظمه اليهود والنصارى. فقال رسول الله صلى عليه وسلم : فإذا كان العلم المقبل صمنا يوم التاسع. (رواه ابو داود)

Dari Abdullah ibn Abbas, ia berkata, “ketika Nabi SAW berpuasa pada hari ‘Asyuara dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata, “Ya Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani”? Rasul Saw bersabda, “Tahun yang akan datang insya Allah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan”. (H.R Muslim).
Nabi SAW belum sempat merealisasikan hasratnya karena beliau wafat sebelum datang bulan Asyuara tahun berikutnya. Menurut para ulama, seperti Asy-Syafi’I dan para pengikutnya, menjalankan hadist hammi ini disunahkan, sebagaimana menjalankan sunah-sunah lainnya.[16]
5.      Hadist Ahwali
Hadist Ahwali adalah hadist yang berupa hal ikhwal Nabi SAW yang tidak termasuk kedalam kategori keempat bentuk hadist diatas. Hadist yang termasuk kategori hadist ini adalah hadist-hadist yang menyangkut sifat-sifat dan kepribadian Nabi SAW.[17]
Sifat Nabi SAW diceritakan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Annas bin Malik, sebagai berikut,
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم احسن الناس خلقا. (متفق عليه)
Rasul SAW adalah orang yang paling mulia akhlaknya (Mutafaq’ alaih)
Tentang keadaan fisik Nabi SAW., dijelaskan dalam hadist,
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم احسن الناس وجها واحسنه خلقا ليس بالطويل البائن ولا بالقصر (رواه البخاري)
Rasul SAW adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tubuh. Keadaan fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek. (H.R. Al-Bukhari)
Pada hadist lainnya disebutkan bahwa Anas bin Malik berkata,
عن انسن رضي الله عنه قال : مامسست حريرا ولا ديباجا ألين من كف النبي صلى الله عليه وسلم ولا شهمت ريحا قط او عرفا قط اطيب من ريح او عرف النبي صلى الله عليه وسلم. (رواه البخاري)

Dari Anas ra. Berkata, “Aku belum pernah memegang sutra murni dan sutra berwarna (yang halus) sehalus telapak tangan Rasul SAW., juga belum pernah mencium wewangian seharum Rasul SAW. (H.R. Bukhari).
D.      Struktur Hadist
1.      Sanad
a.       Definisi Sanad
Sanad menurut bahasa artinya sandaran atau sesuatu yang dijadikan sebagai sandaran, dikatakan demikian karena suatu hadis bersandar kepadanya . Sedangkan pengertian sanad menurut istilah ilmu hadis, banyak ulama yang mengemukakannya, diantaranya ialah:
- As Suyuti dalam bukunya Tadrib ar Rawi, hal 41 , menulis:
الاِخْبَارُ عَنْ طَرِيْقِ الْمَتَنِ
“Berita tentang jalan matan”
- Mahmud at Tahhan, mengemukakan sanad adalah :
سِلْسِلَةُ الرِّجَالِ الْمُوْصِلَةِ اِلىَ الْمَتْنِ
“Mata rantai para perawi hadis yang menghubungkan sampai kepada matan hadis.”
Dalam bidang ilmu hadis sanad itu merupakan salah satu neraca yang menimbang shahih atau dhaifnya suatu hadis. Jika para pembawa hadis tersebut orang-orang yang cakap dan cukup persyaratan, yakni adil, taqwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri, dan mempunyai daya ingat yang kuat, sanadnya bersambung dari satu periwayat kepada periwayat lain sampai kepada sumber berita pertama, maka hadisnya dinilai shahih. Begitupun sebaliknya, andaikan salah seorang dalam sanad ada yang fasik atau yang tertuduh dusta atau setiap para pembawa berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu langsung (muttashil), maka hadis tersebut dhaif sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.

b.      Contoh Sanad
حدثنا عبد الله بن يوسف قا ل أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه قرأ فى المغرب الطور. رواه البخاري
Artinya:
“Memberitakan kepada kami Abdullah bin Yusuf ia berkata; memberitakan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya berkata: “aku mendengar Rasulallah SAW membaca surah Ath-Thur pada salat maghrib.” (HR. Al-Bukhori)
Dari contoh hadis di atas jika diteliti, maka yang dimaksud dengan sanad adalah dimulai dari haddatsana Abdullah bin Yusuf hingga pada lafadz ‘An biihi qaala, yang menyambungkan kepada Rasulullah SAW. Agar lebih jelas berikut ini diterangkan dalam bentuk denah periwayatan hadits di atas .
2.      Matan
a.       Definisi Matan
Kata matan menurut bahasa berarti ما ارتفع وصلب من الارض yang berarti tanah yang tinggi dan keras,namun ada pula yang mengartikan kata matan dengan arti kekerasan, kekuatan, kesangatan. sedangkan arti matan menurut istilah ada banyak pendapat yang dikemukakan para ahli dibidangnya, diantaranya:
- Menurut Muhammad At Tahhan
ما ينتهى اليه السند من الكلام
“suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”

- Menurut Ath Thibbi
الفاظ الحديث التى تتقوم بها معاني
“lafadz hadis yang dengan lafadz itu terbentuk makna”
Jadi pada dasarnya sanad itu ialah berupa isi pokok dari sebuah hadis, baik itu berupa perkataan Nabi atau perkataan seorang sahabat tentang Nabi. Posisi matan dalam sebuah hadis amatlah penting karna dari matan hadis tersebutlah adanya berita dari Nabi atau berita dari sahabat tentang Nabi baik itu tentang syariat atau pun yang lainnya.
b.      Contoh Matan
عن أم المؤمنين عا ئشة رضى الله عنها قالت : قال رسول الله , من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد. رواه متفق عليه
“warta dari Ummu Al Mukminin, ‘Aisyah ra., ujarnya: ‘Rasulullah SAW telah bersabda: barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan (agamaku), maka ia tertolak’. ” (Hr. Bukhori dan Muslim)
Dari contoh hadist diatas yang dimaksud dengan matan hadis ialah lafadz yang dimulai dengan من أحدث hingga lafadz فهو رد atau dengan kata lain yang dimaksud dengan bagian matan dari contoh hadis di atas ialah lafadz من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد “barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan (agamaku), maka ia tertolak’.”
3.      Mukharrij
Kata Mukharrij merupakan bentuk Isim Fa’il (bentuk pelaku) dari kata takhrij atau istikhraj dan ikhraj yang dalam bahasa diartikan; menampakkan, mengeluarkan dan menarik. sedangkan menurut istilah mukharrij ialah orang yang mengeluarkan, menyampaikan atau menuliskan kedalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya) . Di dalam suatu hadis biasanya disebutkan pada bagian terakhir nama dari orang yang telah mengeluarkan hadis tersebut, semisal mukharrij terakhir yang termaksud dalam Shahih Bukhari atau dalam Sahih Muslim, ialah imam Bukhari atau imam Muslim dan begitu seterusnya.
Seperti pada contoh hadis yang pertama, pada bagian paling akhir hadis tersebut disebutkan nama Al-Bukhari (رواه البخاري) yang menunjukkan bahwa beliaulah yang telah mengeluarkan hadis tersebut dan termaktub dalam kitabnya yaitu Shahih Al-Bukhari. Begitu juga dengan contoh hadis kedua yang telah mengeluarkan hadis tersebut ialah Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.
4.      Tabaqat al-Ruwwat
Secara bahasa kata tabaqat diartikan; kaum yang serupa atau sebaya. Sedangkan menurut istilah tabaqat ialah ;
قوم تقاربوا في السن والاسناد أوفي الا سناد
“Kaum yang berdekatan atau sebaya dalam usia dan dalam isnad atau dalam isnad saja”
Tabaqat adalah kelompok beberapa orang yang hidup dalam satu generasi atau satu masa dan dalam periwayatan atau isnad yang sama atau sama dalam periwayatan saja.menurut Ibnu Hajar Al-Asaqalani, Tabaqat Al Ruwwah sejak masa sahabat sampai pada akhir periwayatan ada 12 tabaqat yaitu sebagai berikut:
a. Sahabat dengan berbagai tingkatannya.
b. Tabi’in senior seperti Sa’id bin Al-Musayyab
c. Tabi’in pertengahan seperti Al-Hasan dan Ibnu Sirin
d. Tabi’in dekat pertengahan seperti Az-Zuhri dan Qatadah
e. Tabi’in yunior seperti Al-A’masy
f. Tabi’in yunior tetapi tidak bertemu seorang sahabat seperti Ibnu Juraij
g. Tabi’i Tabi’in senior seperti Malik bin Anas dan Sufyan Ats-Tsauri
h. Tabi’i Tabi’in pertengahan seperti Ibnu Uyaynah dan Ibnu Ulayyah
i. Tabi’i Tabi’in yunior seperti Abu Dawud Ath-Thayalisi dan Asy-Syafi’i
j. Murid Tabi’i Tabi’in senior seperti Ahmad bin Hambal
k. Murid Tabi’i Tabi’in pertengahan seperti Adz-Dzuhali dan Al-Bukhori
l. Murid Tabi’i Tabi’in yunior seperti At-Tirmidzi
Di antara faedah mengetahui tabaqat al-ruwwah ini adalah menghindarkan kesamaan antara dua nama atau beberapa nama yang sama atau hampir sama. Selain itu faedahnya juga yaitu untuk mengetahui ke-muttashil-an atau ke-mursal-an suatu hadis. Sebab suatu hadis tidak dapat ditentukan sebagai hadis muttasil atau mursal, kalau tidak mengetahui apakah tabi’in yang meriwayatkan hadis dari seorang sahabat itu hidup segenerasi atau tidak.


BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa secara etimologi, hadist merupakan berita, dan history yang memberi tahu tentang cara Rasulallah menjalankan syariat Islam.
Sedangkan secara Terminologi, ada beberapa pendapat diantaranya dari para muhadistin, para pakar ushul fiqih, dan dari Fuqoha. Ketiga pendapat tersebut pada intinya sama, yakni memberikan arti bahwa hadist adalah segala sesuatu yang datangnya dari Nabi dan tidak lepas dari empat unsure mutlaq pada kehidupan nabi. Yakni perkataan, perbuatan, ketetapan, dan himmah Rasulallah. Adapun yang membedakannya adalah dari segi sudut pandang dan keluasan objek dan batasan dari para pakar.
Menurut Muhadisin hadist adalah segala sesuatu yang datangnya dari nabi dengan empat unsure yang mutlak, baik sebelum menjadi Rasul ataupun sesudahnya.
Sedangkan para pakar ushul fiqih menyatakan bahwa hadist adalah segala yang datang dari Nabi dengan empat unsure mutlak kehidupan nabi focus pada hal yang berhubungan dengan masalah syariat islam.
Dan menurut Fuqoha, hadist adalah segala yang datang dari Nabi dengan empat unsure mutlak kehidupan nabi yang tidak berhubungan dengan masalah fardu dan wajib.
Adapun struktur hadist secara umum ada dua komponen, yakni sanad dan matan. Sedangkan untuk lebih detailnya ada empat komponen yakni sanad, matan, mukhorrij, dan Tobaqot arruwat.







DAFTAR PUSTAKA
Solahudin, Agus. M, & Suyadi, Agus. 2011. Ulumul Hadits. Bandung. Pustaka Setia.
Abdurrahman & Sumarna, Elan. 2011. Metode Kritik Hadits : Telaah Ilmu Jarh Wa Ta’dil. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Al-Qardhawi, Yusuf. 2007. Pengantar Studi Hadits. Penerjemah Agus Suyadi & Dede Rodin. Bandung. Pustaka Setia
Itr, Nuruddin. 2012.  Ulumul Hadits. Alih Bahasa Mujiyo. Bandung Remaja Rosdakarya.
Khaeruman, Badri. 2010. Ulum al-Hadits. Bandung. Pustaka Setia.
Akses hari kamis tanggal 28 Juni 2012 jam 20.19 di http://id.wikipedia.org/wiki/Hadits
Ajjaj Al-Khatib, Muhammad. 1997. Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin. Beirut : Dar Al-Fikr
Manzhur, Ibnu. Lisan Al-Arab juz II. Mesir : Dar Al-Mishriyah


[1] Manzhur, Ibnu, Lisan Al-Arab,juz II, (Mesir: Dar Al-Mishriyah), hlm. 436
[2] M.M, Azami, Studies in Hadist Methodology and Literature. Terj. Meth Kieraha. Jakarta : Lentera. 2003. Hlm, 21-23.
[3] Endang soetari. Ilmu hadist : kajian riwayah dan dirayah. Bandung : mimbar pustaka. 2005. Hlm 2

[4] Muhammad Ajaj Al-Khatib Qobla At-Tadwin. Kairo : maktabah Wahbah.1975. hlm 19
[5] Ibid.
[6] ibid
[7] Soetari. Op.cit. hlm. 5
[8] Fatchur Rahman. Ikhtisar Mushtalah Hadist. Bandung : almaarif. 1991. Hlm 6.
[9] Ibid. hlm 12.
[10] Soetari. op.cit. hlm. 6
[11] Azami, memahami..op.cit. hlm. 113
[12] Mahmud Yunus. Op. cit. hlm. 113
[13] Ibid. hlm 15
[14] Utang Ranuwijaya. Ilmu Hadist. Jakarta : Gaya Media Pratama. 1996. Hlm. 15
[15] Abbas Mutawali Hamadah. As-Sunah An-Nabawiyah wa Makanatuh fi At-Tasyri. Kairo : Dar Al-Qoumiyah li Ath-Thiba’ah wa An-Nasyr. 1965. Hlm. 22-23
[16] Ranuwijaya. Op. cit. hlm 18.
[17] Ibid