BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadist
merupakan sumber ajaran islam kedua setelah Alqur’an. Kedudukan Hadist sangat
urgen bagi sarana informasi mengenai syariat yang diajarkan nabi kepada
umatnya. Masyarakat islam mutlak mengetahui dan memahami sumber ajarannya,
yakni Al-Qur’an dan Hadist. Tetapi faktanya banyak muslim yang tidak memahami tentang Hadist. Sebagian dari mereka
pun mengenal dan memahami hadist tetapi seringkali implikasi dikehidupan
sehari-harinya mereka abaikan. Untuk memahami sumber ajaran islam tidak hanya
proses inqury terhadap hal yang berhubungan dengan sumber ajaran islam saja,
hadist misalnya. Tetapi juga diperlukan pemikiran yang kritis untuk
memahaminya. Sehingga dapat menteladani seluruh aspek kehidupan Rasulallah.
Oleh
karena itu, Tuntutan penyusunan makalah terkait “Pengertian dan Struktur
Hadist” ini diharapkan sedikit bisa memberi pengetahuan seputar Hadist.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
hadist secara etimologi
dan terminologi?
2.
Apa pengertian Sunnah, khabar, dan atsar ?
3.
Apa bentuk-bentuk hadist ?
4.
Apa saja
struktur hadist?
C.
Tujuan Pembuatan
Makalah
Adapun makalah ini dibuat untuk :
1.
Memenuhi Tugas
Terstruktur Mata Kuliah “Ulumul Hadist”.
2.
Menambah
Pembendaharaan informasi mengenai pengertian dan struktur hadist.
3.
Untuk Mengetahui definisi hadist dan struktur hadist
secara kontemporer.
BAB
II
PENGERTIAN
DAN STRUKTUR HADIST
A.
Pengertian Hadist
1.
Pengertian Hadist menurut Bahasa (Etimologi)
Menurut Ibn Manzhur, Hadits berasal
dari bahasa arab, yaitu dari kata al-Hadits, jamaknya : al-ahadits
al-haditsan dan al-hudtsan[1].
Secara etimologis kata ini memiliki banyak arti, di antaranya : al-jadid
(yang baru) lawan dari al-qadim (yang lama), dan al-khabar, yang
berarti kabar atau berita. (Solahudin & Suyadi,2009:14)
Maksud dari kalimat al-jadid
(yang baru) lawan dari al-qadim (yang lama),” adalah bahwa semua sabda
Rasulullah Saw, dianggap sebagai sesuatu yang baru, sedangkan yang qadim
adalah al-qur’an. Ketiga jamak (al-ahadits
al-haditsan, al-hudtsan) berarti baru ini, dapat pula sebagai jamak
dari pada hadits yang berarti qarib (dekat).
Abul Baqa dalam penelitiannya
mengatakan, kata Hadits senada dengan kata tahdits, yang berarti ikhbar
atau memberi tahu. Kemudian pengertian ini berkembang mencakup segala
pekerjaan, ucapan, dan pengakuan Nabi Saw saja. Perkataan ikhbar
sebenarnya sudah digunakan sejak zaman pra-Islam yang artinya sama dengan
hadits. (Abdurrahman & Sumarna, 2011:192)
Sementara itu Syaikh Nuruddin ‘Itr
menyebut, Hadits adalah kebalikan dari qadim (sesuatu yang terdahulu
atau lama) dan dipakai juga dengan makna khabar. Di nyatakan dan
al-Qamus, “ al-Hadits huwa al jadiid wa al-khabar” (hadits artinya
sesuatu yang baru atau berita). Khabar menurut pakar hadits adalah
sinonim kata Hadits.” Dengan demikian, menurut jumhur ulama tidak ada perbedaan
antara hadits dan khabar. (Nuruddin,2012:14)
Di samping pengertian tersebut, M.M.
Azami, mendefiniskan kata ‘Hadits’ (al-Hadits), secara lughawiyah
(etimologi) berarti ‘komunikasi’, ‘kisah’, ‘percakapan’; religius, historis,
atau kontemporer.
Dari
beberapa pendapat diatas, disimpulkan bahwa secara etimologi pengertian hadist
itu adalah al’jadid (yang baru). Artinya bahwa semua sabda nabi itu
dianggap baru. Sedangkan yang Qodim adalah Al-Qur’an. Hadist juga
merupakan khabar, berita, dan history yang memberi tahu tentang cara Rasulallah
menjalankan syariat Islam.
Dalam al-qur’an, kata hadits ini
digunakan sebanyak 23 kali. Sebagai contoh :
a.
Komunikasi religious : risalah atau
Al-Qur’an.
Allah SWT
berfirman,
ª!$# tA¨tR z`|¡ômr& Ï]Ïptø:$# $Y6»tGÏ. ….
Allah Ta’ala menurunkan secara bertahap hadist
(risalah) yang paling baik dalam bentuk kitab. ( Q.S Az-Zumar : 23 )
Firman-Nya lagi,
ÎTöxsù `tBur Ü>Éjs3ã #x»pkÍ5 Ï]Ïptø:$# ( Oßgã_ÍôtGó¡t^y ô`ÏiB ß]øym w tbqßJn=ôèt ÇÍÍÈ
Maka
serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan
Perkataan ini (Al Quran). nanti Kami akan menarik mereka dengan
berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui. (Q.S. Al-Qalam : 44 ).
b.
Kisah
tentang suatu watak sekuler atau umum.
Allah SWT.
Berfirman,
(#qä9$s%ur Iwöqs9 tAÌRé& Ïmøn=tã Ô7n=tB ( öqs9ur $uZø9tRr& %Z3n=tB zÓÅÓà)©9 âöDF{$# ¢OèO w tbrãsàZã ÇÑÈ
dan mereka berkata: "Mengapa tidak
diturunkan kepadanya (Muhammad) malaikat[459]?" dan kalau Kami turunkan
(kepadanya) malaikat, tentulah selesai urusan itu[460], kemudian mereka tidak
diberi tangguh (sedikitpun). (Q.S AL-An’Am : 6 ).
[459]
Maksudnya: untuk menerangkan bahwa Muhammad s.a.w. itu seorang Nabi.
[460]
Maksudnya: kalau diturunkan kepada mereka malaikat, sedang mereka tidak juga
beriman, tentulah mereka akan diazab Allah seketika, sehingga mereka binasa
semuanya.
c.
Kisah
Historis
Allah SWT
berfirman,
ö@ydur y79s?r& ß]Ïym #ÓyqãB ÇÒÈ
Apakah
telah sampai kepadamu kisah Musa?
(Q.S Thaha : 9 )
d.
Kisah Kontemporer
Allah SWT berfirman,
øÎ)ur §| r& ÓÉ<¨Z9$# 4n<Î) ÇÙ÷èt/ ¾ÏmÅ_ºurør& $ZVÏtn $£Jn=sù ôNr'¬7tR ¾ÏmÎ/ çntygøßr&ur ª!$# Ïmøn=tã t$¡tã ¼çmÒ÷èt/ uÚ{ôãr&ur .`tã <Ù÷èt/ ( $£Jn=sù $ydr'¬6tR ¾ÏmÎ/ ôMs9$s% ô`tB x8r't7/Rr& #x»yd ( tA$s% uÎTr'¬7tR ÞOÎ=yèø9$# çÎ6yø9$# ÇÌÈ
dan
ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya
(Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan Peristiwa itu
(kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan
Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan
Allah kepadanya) dan Menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka
tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu
(Hafsah) bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini
kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah
yang Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (Q.S At-Tahrim : 3 ).
Dari ayat
ayat tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa kata hadist telah digunakan dalam
Al-Qur’an dalam arti “Kisah”, “komunikasi”, atau “risalah”, religious maupun
secular, dari suatu masa lampau ataupun masa kini.[2]
2.
Pengertian Hadist
Secara Istilah (Terminologi)
Secara terminologis, para ulama,
baik muhadistin, fuqoha, ataupun ulama ushul, merumuskan pengertian hadist
secara berbeda-beda. Perbedaan pandangan tersebut lebih disebabkan oleh
terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-masing, yang tentu saja mengandung
kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminya. [3]
Ulama hadist mendefiniskan hadist sebagai berikut,
كل ما اثر عن
النبي صلى الله عليه وسلم من قول او فعل او تقرير او صفة او خلقية او خلقية
Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW, baik berupa sabda,
perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi. [4]
Menurut istilah ahli ushul fiqh,
pengertian hadist adalah,
كل ما صدر عن
النبي صلى الله عليه وسلم غير القران الكريم من قول او فعل او تقرير مما يصلح ان
يكون دليلا لحكم شرعي
Hadist adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW, selain AL-Qur’anulkarim, baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut-paut dengan hokum Syara.[5]
Adapun menurut istilah para Fuqoha,
hadist adalah,
كل ما ثبت عن
النبي صلى الله عليه وسلم ولم يكن من باب الفرض ولاالواجب.
Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW.
Yang tidak bersangkut pat dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.[6]
Perbedaan
pandangan tersebut kemudian melahirkan dua macam pengertian hadist, yakni
pengertian secara terbatas dan pengertian secara luas.[7]
Pengertian hadist secara terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh jumhur
Al-Muhadistin, adalah :
ما اضيف الى
النبي صلى الله عليه وسلم قولا او فعلا او تقريرا او نحوها.
Segala sesuatu yang dinisbatkan
kepada Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan
sebagainya.[8]
Dengan demikian,
menurut ulama hadist, esensi hadist adalah segala berita yang berkenaan dengan
sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ikhwal Nabi Muhammad SAW. Yang dimaksud ihwal
adalah segala sifat dan keadaan pribadi Nabi SAW.
Adapun pengertian hadist secara
luas, sebagaimana dikatakan Muhammad Mahfudz At-Tirmidzi, adalah,
ان الحديث لا
يختص بالمرفوع اليه صلى الله علي وسلم بل جاء بإطلاقه ايضا للموقوف (وهو ما اضيف
الى الصحابي من قول او نحوه) والمقطوع ( وهو ما اضيف لتابعى كذالك).
Sesungguhnya hadist bukan hanya yang
dimarfu’kan kepada Nabi Muhammad SAW, melainkan dapat pula disebutkan pada yang
mauquf ( dinisbatkan pada perkataan dan sebagainya dari sahabat) dan maqthu’
(dinisbatkan pada perkataan dan sebagainya dari tabi’in).[9]
Hal ini jelas bahwa para ulama
beragam dalam mendefinisikan hadist karena berbada dalam meninjau objek hadist
itu sendiri.
B.
PENGERTIAN
SUNNAH, KHABAR, DAN ATSAR
Dalam khazanah ilmu hadist, istilah hadist sering
disebut juga dengan istilah sunnah, khabar, dan atsar.
1.
Pengertian
Sunnah
Secara
bahasa sunnah diartikan sebagai :
الطريقة
محمودة كانت او مذ مومة
Jalan yang dilalui, baik terpuji ataupun tercela[10]
Seperti
sabda Nabi Muhammad SAW.,
من سن في
الاسلام سنة حسنة فله اجرها واجر من عمل بها بعده من غير ان ينقص من اجورهم شيء.
ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزرمن عمل بها من بعده من غير ان ينقص
من اوزارهم شيئ (رواه مسلم)
Barang siapa
merintis dalam islam suatu jalan yang baik, ia memperoleh pahala jalan baik itu
dan pahala orang yang melakukannya sesudah dirinya, tanpa mengurangi sedikit
pun pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam islam suatu jalan yang
buruk, ia akan menerima dosa jalan buruk itu dan dosa orang yang mengerjakannya
sesudah dirinya, tanpa mengurangi sedikit pun dosa mereka. (H.R. Muslim)
Juga sabda
Nabi Muhammad SAW.,
لتتبعن سنن
من قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو سلكوا جحر ضب لسلكتموه ( رواه البخارى
ومسلم)
Sungguh kamu akan mengikuti
sunnah-sunnah (perjalanan-perjalanan) orang yang sebelummu sejengkal demi
sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka memasuki sarang dhab
(serupa biawak) sungguh kamu memasuki juga. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dari kedua hadist tersebut, kita
bisa mengetahui bahwa kata “Sunnah” sebagaimana juga menurut ahli bahasa berarti
jalan.
Adapun pengertian Sunnah menurut
istilah, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Ajaj Al-Khathib,
ما اثر عن
النبي صلى الله عليه وسلم من قول او فعل او تقرير او صفة خلفية او سيرة سواء كان
قبل البعثة او بعدها
Segala
sesuatu yang dunukilkan dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup, baik sebelum
Nabi diangkat jadi rasul atau sesudahnya.
Dari
sudut pandang terminologi , para ahli tidak membedakan antara hadist dan
sunnah. Menurut mereka, hadist atau sunnah adalah hal-hal yang berasal dari
Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan maupun sifat
beliau, dan sifat ini baik berupa sifat-sifat fisik, moral maupun perilaku,
sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya.
Sunnah pada dasarnya sama dengan hadist, namun dapat
dibedakan dalam pemaknaannya, seperti yang diungkapkan oleh M.M Azami bahwa
sunnah berarti model kehidupan Nabi SAW, sedangkan hadist adalah periwayatan
dari model kehidupan Nabi SAW. Tersebut.[11]
2.
Pengertian
Khabar
Secara bahasa, khabar artinya warta atau
berita[12]
yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain. Khabar menurut istilah ahli
hadist adalah.,
ما اضيف الى النبي صلى الله عليه وسلم
او غيره
Segala
sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi SAW
Maksudnya bahwa khabar itu cakupannya lebih luas
disbanding dengan hadist. Khabar mencakup segala sesuatu yang berasal dari Nabi
Muhammad SAW dan selain Nabi, seperti perkataan sahabat dan tabi’in, sedangkan
hadist hanya segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., baik perkataan,
perbuatan, maupun taqrir (ketetapan) beliau.
3.
Pengertian
Atsar
Dari segi bahasa, atsar berarti bekas sesuatu atau
sisa sesuatu. Menurut kebanyakan ulama, atsar mempunyai pengertian yang sama
dengan khabar dan hadist, namun menurut sebagian ulama lainnya atsar cakupannya
lebih umum disbanding khabar.
Para fuqoha memakai istilah atsar untuk
perkataan-perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in, dan lain-lain.
Dari pengertian tentang hadist, sunnah, khabar, dan
atsar, sebagaimana diuraikan diatas, menurut jumhur ulama ahli hadist, dapat
dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa hadist disebut juga dengan
sunnah, khabar, atau atsar. Begitu pula, sunnah dapat disebut dengan hadist,
khabar, dan atsra. Oleh karena itu, hadist mutawatir dapat juga disebut dengan
sunnah mutawatir atau khabar mutawatir. Begitu juga, hadist shahih juga dapat
disebut dengan sunnah shahih, khabar shahih, dan atsar shahih.
C.
BENTUK-BENTUK
HADIST
Berdasarkan pengertian hadist diatas, bentuk-bentuk
hadist terbagi pada qauli (perkataan), fi’li (perbuatan), taqrir (ketetapan),
hammi (keinginan), ahwali (hal ihwal), dan lainnya.
1.
Hadist Qauli
Hadist Qauli adalah segala bentuk perkataan atau
ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dengan kata lain, hadist qauli adalah
hadist berupa perkataan Nabi SAW yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk
syara’, peristiwa, dan kisah, baik yang berkaitan dengan aspek akidah, syariat,
maupun akhlak.
Diantara contoh hadist qauli adalah hadist tentang
kecaman Rasul kepada orang-orang yang mencoba memalsukan hadist-hadist yang
berasal dari Rasulullah SAW,
عن ابي هريرة
قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من
النار (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairoh r.a Rasulullah bersabda : “barang
siapa sengaja berdusta atas diriku, hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat
tinggalnya dineraka”. (H.R Muslim).
2.
Hadist Fi’li
Hadist fi’li adalah segala sesuatu perbuatan yang
disandarkan kepada Nabi SAW. Dalam hadist tersebut terdapat berita tentang
perbuatan Nabi SAW yang menjadi anutan perilaku para sahabat pada saat itu, dan
menjadi keharusan bagi semua umat islam untuk mengikutinya.
Hadist yang
termasuk kategori ini diantaranya adalah hadist-hadist yang didalamnya terdapat
kana-kata kanalyakunu ra’aitul ai’na.[13]
contohnya hadist berikut ini :
عن عائشة ان
النبي صلى الله عليه وسلم كان يقسم بين نسائه فيعدل ويقول : اللهم هذه قسمتي فيما
أملك فلا تلمني فيما تملك ولا املك (رواه ابو داود والترمذي و النسائ وابن ماجه)
Dari ‘Aisyah, Rasul SAW membagi (nafkah dan
gilirannya) antar istri-istrinya dengan adil. Beliau bersabda, “Ya Allah !
Inilah pembagianku pada apa yang aku miliki. Janganlah Engkau mencelaku dalam
hal yang tidak aku miliki”. (H.R. Abu dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu
Majah).
3.
Hadist
Taqriri
Hadist Taqriri
adalah hadist berupa ketetapan Nabi SAW terhadap apa yang datang atau
dilakukan oleh para sahabatnya. Nabi SAW membiarkan atau ,endiamkan suatu
perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan,
apakah beliau membenarkan atau mempermasalahkannya. Sikap Nabi yang demikian
itu dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalil taqriri, yang dapat
dijadikan hujjah atau mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan suatu kepastian
Syara’.[14]
Di antara
contoh hadist taqriri adalah sikap Rosul SAW yang membiarkan para sahabat dalam
menafsirkan sabdanya tentang shalat pada suatu peperangan, yaitu,
لايصلين احد العصر الا في بني قريضة (رواه البخاري)
Janganlah
seorang pun shalat Ashar, kecuali nanti di Bani Quraidhah. (H.R Al Bukhori).
Sebagian
sahabat memahami larangan itu berdasarkan pada hakikat perintah tersebut
sehingga mereka terlambat dalam melaksanakan shalat Ashar. Segolongan sahabat
lainnya memahami perintah tersebut untuk segera menuju Bani Quraidhah dan
serius dalam peperangan dan perjalanannya sehingga dapat shalat tepat pada
waktunya. Sikap para sahabat ini dibiarkan oleh Nabi SAW tanpa ada yang
disalahkan atau diingkarinya.[15]
4.
Hadist Hammi
Hadist Hammi adalah hadist
yang berupa keinginan atau hasrat Nabi SAW yang belum terealisasikan, seperti
halnya hasrat berpuasa tanggal 9 Asyu’ara. Sebagai contoh adalah hadist dari
Ibn Abbas, sebagai berikut,
عن عبدالله
بن عباس يقول حين صام النبي صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وامرنا بصيامه قالو :
انه يوم تعظمه اليهود والنصارى. فقال رسول الله صلى عليه وسلم : فإذا كان العلم
المقبل صمنا يوم التاسع. (رواه ابو داود)
Dari
Abdullah ibn Abbas, ia berkata, “ketika Nabi SAW berpuasa pada hari ‘Asyuara
dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata, “Ya Rasulullah,
hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani”? Rasul Saw
bersabda, “Tahun yang akan datang insya Allah aku akan berpuasa pada hari yang
kesembilan”. (H.R Muslim).
Nabi SAW
belum sempat merealisasikan hasratnya karena beliau wafat sebelum datang bulan
Asyuara tahun berikutnya. Menurut para ulama, seperti Asy-Syafi’I dan para
pengikutnya, menjalankan hadist hammi ini disunahkan, sebagaimana menjalankan
sunah-sunah lainnya.[16]
5.
Hadist
Ahwali
Hadist
Ahwali adalah hadist yang berupa hal ikhwal Nabi SAW yang tidak termasuk
kedalam kategori keempat bentuk hadist diatas. Hadist yang termasuk kategori
hadist ini adalah hadist-hadist yang menyangkut sifat-sifat dan kepribadian
Nabi SAW.[17]
Sifat Nabi
SAW diceritakan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Annas bin Malik, sebagai
berikut,
كان رسول
الله صلى الله عليه وسلم احسن الناس خلقا. (متفق عليه)
Rasul SAW
adalah orang yang paling mulia akhlaknya (Mutafaq’ alaih)
Tentang
keadaan fisik Nabi SAW., dijelaskan dalam hadist,
كان رسول
الله صلى الله عليه وسلم احسن الناس وجها واحسنه خلقا ليس بالطويل البائن ولا
بالقصر (رواه البخاري)
Rasul SAW
adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tubuh. Keadaan fisiknya tidak
tinggi dan tidak pendek. (H.R. Al-Bukhari)
Pada hadist
lainnya disebutkan bahwa Anas bin Malik berkata,
عن انسن رضي
الله عنه قال : مامسست حريرا ولا ديباجا ألين من كف النبي صلى الله عليه وسلم ولا
شهمت ريحا قط او عرفا قط اطيب من ريح او عرف النبي صلى الله عليه وسلم. (رواه
البخاري)
Dari Anas
ra. Berkata, “Aku belum pernah memegang sutra murni dan sutra berwarna (yang
halus) sehalus telapak tangan Rasul SAW., juga belum pernah mencium wewangian
seharum Rasul SAW. (H.R. Bukhari).
D. Struktur Hadist
1. Sanad
a. Definisi Sanad
Sanad menurut bahasa artinya sandaran atau sesuatu
yang dijadikan sebagai sandaran, dikatakan demikian karena suatu hadis bersandar
kepadanya . Sedangkan pengertian sanad menurut istilah ilmu hadis, banyak ulama
yang mengemukakannya, diantaranya ialah:
- As Suyuti dalam
bukunya Tadrib ar Rawi, hal 41 , menulis:
الاِخْبَارُ عَنْ طَرِيْقِ الْمَتَنِ
“Berita tentang jalan matan”
-
Mahmud at Tahhan, mengemukakan sanad adalah :
سِلْسِلَةُ الرِّجَالِ الْمُوْصِلَةِ اِلىَ الْمَتْنِ
Dalam bidang ilmu hadis sanad itu merupakan salah
satu neraca yang menimbang shahih atau dhaifnya suatu hadis. Jika para pembawa
hadis tersebut orang-orang yang cakap dan cukup persyaratan, yakni adil, taqwa,
tidak fasik, menjaga kehormatan diri, dan mempunyai daya ingat yang kuat,
sanadnya bersambung dari satu periwayat kepada periwayat lain sampai kepada
sumber berita pertama, maka hadisnya dinilai shahih. Begitupun sebaliknya,
andaikan salah seorang dalam sanad ada yang fasik atau yang tertuduh dusta atau
setiap para pembawa berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu langsung (muttashil),
maka hadis tersebut dhaif sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
b. Contoh
Sanad
حدثنا عبد الله بن يوسف قا ل أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه قرأ فى المغرب الطور. رواه البخاري
Artinya:
“Memberitakan
kepada kami Abdullah bin Yusuf ia berkata; memberitakan kepada kami Malik dari
Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya berkata: “aku
mendengar Rasulallah SAW membaca surah Ath-Thur pada salat maghrib.” (HR.
Al-Bukhori)
Dari contoh hadis di atas jika diteliti,
maka yang dimaksud dengan sanad adalah dimulai dari haddatsana Abdullah bin
Yusuf hingga pada lafadz ‘An biihi qaala, yang menyambungkan kepada Rasulullah
SAW. Agar lebih jelas berikut ini diterangkan dalam bentuk denah periwayatan
hadits di atas .
2.
Matan
a.
Definisi Matan
Kata matan menurut bahasa berarti ما ارتفع وصلب من الارض yang berarti tanah yang tinggi dan keras,namun ada pula yang
mengartikan kata matan dengan arti kekerasan, kekuatan, kesangatan. sedangkan
arti matan menurut istilah ada banyak pendapat yang dikemukakan para ahli
dibidangnya, diantaranya:
- Menurut Muhammad At
Tahhan
ما ينتهى اليه السند من الكلام
“suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”
- Menurut Ath Thibbi
الفاظ الحديث التى تتقوم بها معاني
“lafadz hadis yang dengan lafadz
itu terbentuk makna”
Jadi
pada dasarnya sanad itu ialah berupa isi pokok dari sebuah hadis, baik itu
berupa perkataan Nabi atau perkataan seorang sahabat tentang Nabi. Posisi matan
dalam sebuah hadis amatlah penting karna dari matan hadis tersebutlah adanya
berita dari Nabi atau berita dari sahabat tentang Nabi baik itu tentang syariat
atau pun yang lainnya.
b.
Contoh Matan
عن أم المؤمنين عا ئشة رضى الله عنها قالت : قال رسول الله , من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد. رواه متفق عليه
“warta
dari Ummu Al Mukminin, ‘Aisyah ra., ujarnya: ‘Rasulullah SAW telah bersabda:
barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan
(agamaku), maka ia tertolak’. ” (Hr. Bukhori dan Muslim)
Dari contoh hadist diatas yang dimaksud
dengan matan hadis ialah lafadz yang dimulai dengan من أحدث hingga lafadz فهو رد atau dengan kata lain yang dimaksud dengan
bagian matan dari contoh hadis di atas ialah lafadz من أحدث فى أمرنا
هذا ما ليس منه فهو
رد
“barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan
(agamaku), maka ia tertolak’.”
3. Mukharrij
Kata Mukharrij merupakan bentuk Isim
Fa’il (bentuk pelaku) dari kata takhrij atau istikhraj dan ikhraj yang dalam
bahasa diartikan; menampakkan, mengeluarkan dan menarik. sedangkan menurut
istilah mukharrij ialah orang yang mengeluarkan, menyampaikan atau menuliskan
kedalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang
(gurunya) . Di dalam suatu hadis biasanya disebutkan pada bagian terakhir nama
dari orang yang telah mengeluarkan hadis tersebut, semisal mukharrij terakhir
yang termaksud dalam Shahih Bukhari atau dalam Sahih Muslim, ialah imam Bukhari
atau imam Muslim dan begitu seterusnya.
Seperti pada contoh hadis yang pertama, pada bagian
paling akhir hadis tersebut disebutkan nama Al-Bukhari (رواه البخاري) yang
menunjukkan bahwa beliaulah yang telah mengeluarkan hadis tersebut dan
termaktub dalam kitabnya yaitu Shahih Al-Bukhari. Begitu juga dengan contoh
hadis kedua yang telah mengeluarkan hadis tersebut ialah Imam Al-Bukhari dan
Imam Muslim.
4. Tabaqat
al-Ruwwat
Secara bahasa kata tabaqat diartikan; kaum yang
serupa atau sebaya. Sedangkan menurut istilah tabaqat ialah ;
قوم تقاربوا في السن والاسناد أوفي الا سناد
“Kaum
yang berdekatan atau sebaya dalam usia dan dalam isnad atau dalam isnad saja”
Tabaqat adalah kelompok beberapa orang yang hidup
dalam satu generasi atau satu masa dan dalam periwayatan atau isnad yang sama
atau sama dalam periwayatan saja.menurut Ibnu Hajar Al-Asaqalani, Tabaqat Al
Ruwwah sejak masa sahabat sampai pada akhir periwayatan ada 12 tabaqat yaitu
sebagai berikut:
a.
Sahabat dengan berbagai tingkatannya.
b.
Tabi’in senior seperti Sa’id bin Al-Musayyab
c.
Tabi’in pertengahan seperti Al-Hasan dan Ibnu Sirin
d.
Tabi’in dekat pertengahan seperti Az-Zuhri dan Qatadah
e.
Tabi’in yunior seperti Al-A’masy
f.
Tabi’in yunior tetapi tidak bertemu seorang sahabat seperti Ibnu Juraij
g.
Tabi’i Tabi’in senior seperti Malik bin Anas dan Sufyan Ats-Tsauri
h.
Tabi’i Tabi’in pertengahan seperti Ibnu Uyaynah dan Ibnu Ulayyah
i.
Tabi’i Tabi’in yunior seperti Abu Dawud Ath-Thayalisi dan Asy-Syafi’i
j.
Murid Tabi’i Tabi’in senior seperti Ahmad bin Hambal
k.
Murid Tabi’i Tabi’in pertengahan seperti Adz-Dzuhali dan Al-Bukhori
l.
Murid Tabi’i Tabi’in yunior seperti At-Tirmidzi
Di antara faedah mengetahui tabaqat al-ruwwah ini
adalah menghindarkan kesamaan antara dua nama atau beberapa nama yang sama atau
hampir sama. Selain itu faedahnya juga yaitu untuk mengetahui ke-muttashil-an
atau ke-mursal-an suatu hadis. Sebab suatu hadis tidak dapat ditentukan sebagai
hadis muttasil atau mursal, kalau tidak mengetahui apakah tabi’in yang
meriwayatkan hadis dari seorang sahabat itu hidup segenerasi atau tidak.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa secara
etimologi, hadist merupakan berita, dan history yang memberi
tahu tentang cara Rasulallah menjalankan syariat Islam.
Sedangkan secara
Terminologi, ada beberapa pendapat diantaranya dari para muhadistin, para pakar
ushul fiqih, dan dari Fuqoha. Ketiga pendapat tersebut pada intinya sama, yakni
memberikan arti bahwa hadist adalah segala sesuatu yang datangnya dari Nabi dan
tidak lepas dari empat unsure mutlaq pada kehidupan nabi. Yakni perkataan,
perbuatan, ketetapan, dan himmah Rasulallah. Adapun yang membedakannya adalah
dari segi sudut pandang dan keluasan objek dan batasan dari para pakar.
Menurut
Muhadisin hadist adalah segala sesuatu yang datangnya dari nabi dengan empat
unsure yang mutlak, baik sebelum menjadi Rasul ataupun sesudahnya.
Sedangkan para
pakar ushul fiqih menyatakan bahwa hadist adalah segala yang datang dari Nabi
dengan empat unsure mutlak kehidupan nabi focus pada hal yang berhubungan
dengan masalah syariat islam.
Dan menurut
Fuqoha, hadist adalah segala yang datang dari Nabi dengan empat unsure mutlak
kehidupan nabi yang tidak berhubungan dengan masalah fardu dan wajib.
Adapun struktur
hadist secara umum ada dua komponen, yakni sanad dan matan. Sedangkan untuk
lebih detailnya ada empat komponen yakni sanad, matan, mukhorrij, dan Tobaqot
arruwat.
DAFTAR PUSTAKA
Solahudin,
Agus. M, & Suyadi, Agus. 2011. Ulumul Hadits. Bandung. Pustaka
Setia.
Abdurrahman
& Sumarna, Elan. 2011. Metode Kritik Hadits : Telaah Ilmu Jarh Wa
Ta’dil. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Al-Qardhawi,
Yusuf. 2007. Pengantar Studi Hadits. Penerjemah Agus Suyadi & Dede
Rodin. Bandung. Pustaka Setia
Itr,
Nuruddin. 2012. Ulumul Hadits. Alih Bahasa Mujiyo. Bandung Remaja
Rosdakarya.
Khaeruman,
Badri. 2010. Ulum al-Hadits. Bandung. Pustaka Setia.
Akses hari kamis tanggal 28 Juni
2012 jam 20.19 di http://id.wikipedia.org/wiki/Hadits
Akses hari kamis tanggal 28 Juni
2012 jam 20.19 di http://wicaksonodjatwiko.wordpress.com/2012/03/02/pengertian-hadits-dan-sunnah/
Ajjaj Al-Khatib, Muhammad. 1997. Al-Sunnah
Qabla Al-Tadwin. Beirut : Dar Al-Fikr
Manzhur, Ibnu. Lisan Al-Arab juz
II. Mesir : Dar Al-Mishriyah
[1] Manzhur, Ibnu,
Lisan Al-Arab,juz II, (Mesir: Dar Al-Mishriyah), hlm. 436
[2] M.M,
Azami, Studies in Hadist Methodology and Literature. Terj. Meth Kieraha.
Jakarta : Lentera. 2003. Hlm, 21-23.
[15] Abbas
Mutawali Hamadah. As-Sunah An-Nabawiyah wa Makanatuh fi At-Tasyri. Kairo : Dar
Al-Qoumiyah li Ath-Thiba’ah wa An-Nasyr. 1965. Hlm. 22-23